Cerita ini saya cuplik dari salah satu tulisan saudari Andi Sri Wahyuni Handayani di Kompasiana ... Semoga bermanfaat dan dapat dijadikan pembelajaran bagi kita semua ... Selamat membaca ....
Kenalkan! Nama saya Andis. Saya melanjutkan kuliah
di sebuah universitas yang ada di Jawa pada jurusan yang linear sewaktu
menempuh S1 di Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar. Saya sedang
mengikuti sebuah program beasiswa Calon Dosen yang
diselenggarakan oleh DIKTI, yang bekerjasama dengan Universitas
Diponegoro sebagai pelaksana program.
Magister Sains Akuntansi Undip adalah satu dari
empat universitas di Indonesia yang memiliki jurusan Magister Akuntansi
dengan tingkat akreditasi A. Itulah kenapa Undip dipilih oleh DIKTI
untuk bekerjasama menyekolahkan calon-calon pengajar yang akan
ditempatkan sesuai “kemauan” DIKTI kelak.
Sekira, sudah empat bulan saya di sini. Seperti
kebiasaan proses pencairan beasiswa dalam negeri, biasanya mulai
dicairkan pada bulan Desember. Saya sudah tahu konsekuensinya, biaya
kuliah dan biaya hidup ditanggung oleh orang tua selama masa penantian
pencairan itu. Tapi tetap saja, saya banyak mengeluh, tidak sabaran, dan
rajin bertanya, “kapan cairnya?” Padahal sudah jelas, cairnya Desember.
Masa penantian selama empat bulan itu, membuat saya
harus mengirit uang jajan sedemikian rupa. Kadang, ketika melewati
penjual jajan, saya harus menelan ludah untuk melewatinya begitu saja.
Saya suka jajan seperti kebiasaan anak-anak, apalagi yang namanya
cokelat. Ya ampun, saya pernah merasa “sakit” karena begitu lamanya
tidak makan cokelat di sini.
Pernah, karena terlalu berat meminta kepada orang
tua, saya mengajak teman untuk berdagang ke Pasar Minggu Tiban. Dengan
tekad membara, kami berangkat di Subuh buta untuk berjualan batik.
Batik-batik tersebut adalah jualan bapak teman saya ini. Dan hasilnya, alhamdulillah, lakunya satu buah. Ya, satu buah saja. Paling tidak, cukup untuk membayar retribusi pasar dan membeli sebuah es krim.
Dari kejadian itu, saya mengaku kalah. Saya sudah
tidak berbakat di dunia bisnis. Darah Bugis yang kata orang mengalir
jiwa pedagang di dalamnya, sepertinya mengalir meninggalkan darah saya,
entah ke mana. Padahal keluarga besar saya rata-rata pedagang.
Lalu, mengikuti saran seorang teman, saya sebaiknya
lebih giat mengirim tulisan saja ke surat kabar. Upah untuk sebuah
artikel memang lumayan untuk kantong mahasiswa. Akhirnya, dengan masih
memiliki semangat yang sama, saya pun rajin membaca berita di surat
kabar lokal. Surat kabar itu tidak saya beli tentunya. Saya membaca
gratis di warung tempat membeli lauk. Saya memaanfaatkan uang Rp 2.000
untuk dua hal. Saya membeli satu tempe dan satu tahu, sembari membaca
surat kabar yang disediakan pemilik warung tiap pagi. Sambil menyelam
minum air. Dari isu-isu yang saya dapatkan di surat kabar itu, saya
kemudian menulis artikel.
Setelah menulis beberapa artikel, saya mencoba
mengirimnya ke surat kabar lokal yang sama saya baca beritanya tiap
pagi. Apa hasilnya? Saya tidak tahu, tulisan itu sampai atau tidak ke
alamat surel yang saya kirimkan, karena rajin sekali pemberitahuan pesan
gagal masuk di email saya. Yang jelasnya, tidak ada hasil. Tulisan saya
tidak membuat perut saya terisi.
Saya akhirnya mengirimkan satu dari tulisan-tulisan
tersebut kepada seorang teman yang menurut saya cukup idealis dan mapan
dalam menganilasa tulisan. Tahukah apa komentarnya?
“Saya tidak tertarik dengan tulisan yang
satu ini. Terlalu besar wacananya, persis seperti penulis di
koran-koran. Saya lebih suka tulisan yang tidak meneropong terlalu jauh.
Tapi mengangkat cerita-cerita kecil yang berasal dari orang yang
berjiwa besar.”
Teman saya ini tidak tahu, bahwa memang
tulisan tersebut saya targetkan untuk pembaca koran. Tapi kemudian saya
menyadari, apakah rupiah telah menuntun jenis tulisan saya sedemikian
rupa?
Saya catat baik-baik komentar tersebut di
tempat di mana saya bisa membacanya dengan mudah. Saya malu sendiri.
Saya telah pragmatis. Saya telah merusak tulisan-tulisan saya sendiri.
Saya menjadi sadar akan satu hal, pada
kondisi terjepit dan kelaparan, rupanya orang-orang sangat berpotensi
menanggalkan idealismenya. Maka mulai saat itu, saya berjanji berhenti
menulis untuk alasan perut semata.
Tapi ini tidak menyelesaikan masalah saya
tentang kantong yang semakin menipis sementara uang kos bulanan harus
dibayarkan. Pernah malah, karena terlambat membayar tiga hari uang sewa
kos, bapak kos saya bertanya, “Kamu masuknya tanggal berapa ya?” (Baca:
kok telat bayarnya?)
Sebenarnya saya punya pilihan lain. Kalau
saya mau, saya bisa saja meminjam uang kepada teman. Pernah bahkan ada
yang sampai menawari. Tapi, duh, untuk urusan utang-piutang
saya selalu merasa berat. Kenapa? Saya selalu dihantui pikiran,
bagaimana kalau saya meninggal besok? Sementara tidak ada yang tahu
utang itu, dan si pemberi utang malu menagih kepada keluarga saya
padahal sebenarnya ia pun membutuhkannya.
Tapi kemudian, di saat yang paling sulit,
saat di dompet saya hanya tersisa uang koin saja dan saya masih saja
berat meminta pada orang tua, saat itu pertolongan-Nya datang. Dia
memang Maha Tahu, Maha Mengerti. Beberapa kali rejeki datang dari arah
yang tidak kusangka. Demi untuk menjaga kesyukuran itu, saya tidak akan
menuliskannya di sini, dari mana rejeki itu. Jelasnya, beberapa kali
saya sangat terbantu dengan rejeki kecil-kecilan. Meski, untuk jumlah
pembayaran yang besar seperti pembelian buku dan tiket pesawat pulang
kampung, tetap saja uangnya mengalir dari rekening orang tua.
Maka, masa-masa menahan diri untuk tidak
menyicipi kue donat kesukaanku. Masa-masa menahan diri saat
berjalan-jalan di toko buku, hanya bisa membaca di tempat. Masa-masa
menghabiskan lauk berupa ikan kering yang dibuatkan mama dan mampu
bertahan selama sebulan. Masa-masa itu semua pun terlewati. Beasiswa
akhirnya cair.
Saat beasiswa cair, hal pertama yang saya
pikirkan adalah mengganti uang kedua orang tua yang sudah saya gunakan
untuk membayar biaya kuliah yang jumlahnya mencapai puluhan juta. Hal
kedua yang terlintas adalah membeli tiket pulang kampung, sebab
kebetulan ada libur lima hari berturut-turut. Bahkan, kalau saya mau
kompromi dengan bolos dua hari kuliah yang dijepit oleh Hari Raya Natal
dan Tahun Baru, masa libur saya menjadi delapan hari. Hal ketiga yang
saya pikirkan adalah menyicipi kue donat kesukaan saya.
Dari ketiganya, yang pertama kali saya
realisasikan adalah membeli donat. Sudah empat bulan tidak makan donat,
maka saya membayar kesabaran itu dengan membeli dua buah. Harga donatnya
terbilang cukup mahal bagi saya, Rp 8500 per buah. Tapi, tidak apa,
kata saya membujuk diri. Ini hadiah untuk yang sudah berpuasa donat
begitu lama.
Lalu, hari ini, sehari setelah pencairan dana
tersebut. Setelah saya memakan donat semalam, tiba-tiba saya seperti
dibangunkan dari sebuah mimpi buruk. Tiba-tiba saya tersentak dengan
sebuah ingatan, bahwa uang yang saya gunakan semalam untuk membeli donat
adalah uang negara.
Saya di sini karena dibiayai negara dengan
cairnya uang tersebut. Itu berarti, uang petani, uang tukang becak, uang
tukang parkir, uang buruh bangunan yang dikumpulkan dalam bentuk pajak,
mengalir ke rekening saya. Dan duh, dengan egoisnya, saat saya
menerima uang tersebut, saya malah memikirkan kepentingan diri sendiri,
kesenangan diri sendiri. Saya bahkan sempat terpikir untuk bolos pulang
kampung, meninggalkan kelas yang sudah dibiayai mahal oleh negara?
Barangkali ada yang berpikiran, “lah kan
beasiswa itu memang termasuk biaya hidup? Apa salahnya sesekali
menggunakannya untuk menyenangkan diri sendiri?” Iya, termasuk biaya
hidup. Tapi biaya hidup apa yang dimaksud? Untuk bersenang-senangkah?
Saya teringat, betapa dulu di S1 saya tidak
menyetujui perilaku mereka yang menerima beasiswa dari kampus tapi malah
menggunakan beasiswa itu untuk membeli HP merek terbaru, membeli
pakaian di mall-mall, membeli tiket menonton bioskop, membeli tiket
liburan dan rekreasi. Kira-kira jika rakyat yang membayar pajak,
terlebih rakyat kecil, tahu bahwa uang mereka digunakan untuk
bersenang-senang di atas jerih payah mereka, ikhlas kah mereka?
Berberkah kah sesuatu yang digunakan tapi si pemberi tidak ikhlas? Lalu,
di mana pula telah kutanggalkan pemahaman dan keyakinan yang seperti
ini? yang dulu menggunakan beasiswa untuk buku-buku dan membayar SPP?
Tercecer di manakah kesadaran untuk berhati-hati menggunakan uang
beasiswa?
Dan saya pun bertanya, benarkah saya di sini
untuk kepentingan orang-orang kecil itu? Dengan keinginan-keinginan
untuk menyenangkan diri sendiri, tidakkah secara tidak langsung saya
juga korupsi terhadap uang rakyat? Bukankah para pejabat itu divonis
sebagai tersangka karena menggunakan uang rakyat tidak untuk kepentingan
rakyat, tapi kepentingan diri sendiri? Lalu, apa bedanya saya yang
semalam bersenang-senang membeli donat dengan uang rakyat, dengan mereka
yang saya gaungkan sebagai orang-orang tak berpikemanusiaan? Miris,
saya yang katanya ingin memperjuangkan kaum kecil seperti petani, justru
menggunakan hasil keringat mereka untuk kepentingan pribadi. Naif.
Terkadang, saya bahkan bermalas-malasan
belajar. Saya mengerjakan tugas tidak semangat. Saya mengeluh. Saya
banyak tidur. Saya sering tidak fokus di dalam kelas saat dosen
menjelaskan. Saya kurang menyiapkan diri saat akan presentasi di kelas.
Saya tidak membaca lebih banyak jurnal, yang sudah disedikan gratis di
kampus. Saya tidak menggunakan kesempatan ini, sebagaimana mestinya.
Dan lebih berat bagi saya untuk memikirkan
ini. Pertanggungjawaban kepada-Nya. Bagaimana harus saya
pertanggungjawabkan, kesempatan yang sudah Dia berikan ini? Ada banyak
orang yang menginginkan ini. Lantas mengapa saya tidak menghargainya
dengan belajar lebih giat, menempa diri, membekali diri dengan
pengetahuan untuk kemudian dibagi.
Dan saya pun mulai merutuki diri yang
belakangan hanya menulis kalau mau saja. Menulis ogah-ogahan. Sementara,
bukankah menulis adalah salah satu jalan untuk membagi pengetahuan?
Bukankah dengan menulis, saya bisa sedikit mencicil pertanggungjawaban
saya kepada mereka yang sudah saya gunakan uangnya dalam bentuk beasiswa
dengan membagi ilmu yang sudah saya dapatkan di bangku kuliah?
Saya mengurut dada, merasa begitu bersalah.
Semoga hanya saya penerima beasiswa yang pernah berpikir menggunakan
uang beasiswa untuk kepentingan pribadi. Cukup saya.
Dan baiklah. Mari mulai kembali untuk instrospeksi diri dan melakukan hal yang lebih bermanfaat!
Semoga dimudahkan… Aamiin
Semarang, 25 Desember 2013
Sumber Kompasiana
0 komentar:
Posting Komentar